Hari Sabtu, 21 Oktober 2006 lalu, aku dan adikku, Tiwi, mendapat pengalaman baru usai tarawih di Masjid Manunggal, Sadang Serang. Kala itu masjid cukup lengang, shaf ikhwan maupun shaf akhwat hanya terisi kurang dari setengah dari hari-hari awal Ramadhan. Tapi, entah mengapa, saat tarawih malam itu terasa lebih tenang dibandingkan malam-malam sebelumnya.
Setelah selesai, kami berdua hendak pulang. Adikku sempat memburu-buruku karena aku melipat mukenanya lama banget.
"Cepetan, tinggal kita berdua doang nih," begitu katanya.
" Waa..sori-sori, bentar napa? Buru-buru amat, " balasku.
Tak sadar, ada seorang ibu yang sepertinya lebih tua dari ibu kami, mendekat dan menyapa. Beliau menanyakan, apakah ada iktikaf malam ini.
"Nggak tau ya, Bu. Sepertinya ga ada jamaah wanita yang iktikaf, "kata kami seraya mengerling ke arah beberapa bapak yang ngobrol di shaf depan.
" Biasanya kalau iktikaf yang rame mungkin di Salman ya, Bu. Jamaah wanitanya banyak, dan programnya jelas," tambahku.
Sepertinya ibu itu menanyakan kemungkinan iktikaf di masjid tersebut, dan ingin tahu, apakah kita berdua akan iktikaf di situ juga. Dikira cuma bertanya sebatas itu, ternyata..ibu itu mengajak ngobrol (atau tepatnya memaksa kami diam sejenak di masjid itu :-P). Diawali dengan menanyakan kami kuliah di mana. Kukira ibu itu sudah tau dengan melirik pada tas mukena yang kubawa. Tas itu adalah tas yang dulunya berisi paket toga+undangan Wisuda ITB 2006. Sejak awal, aku dan Tiwi sudah agak segan, tapi berhubung yang bersangkutan adalah orang tua dan sepertinya niatnya baik, kami sulit menolak.
Di sela obrolannya yang antara lain menceritakan anak-anaknya yang sudah sukses, dua di antaranya lulusan ITB, ibu itu juga menanyakan sedikit tentang tempat tinggal, keluarga, sampai status kami. Ehm..ehm..
"Sudah berkeluarga-kah?" tanya beliau, dibalas oleh gelengan kepala kami berdua sambil tersenyum-senyum.
"Atau sudah punya pasangan tapi belum berkeluarga?" Huk..itu apalagi..maksudnya??
Intinya, beliau mengajak ngobrol tentang keluarga, pernikahan, jodoh..ya semacam itu-lah. Di antaranya, beliau menyarankan agar kami membaca ayaut-ayat Al Quran yang berhubungan dengan hal itu:
Q.S. Al Furqon (surah ke-25) ayat 74:
Dan orang-orang berkata, " Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa."
Selain itu, berdasarkan pengalaman beliau, menghormati dan berbakti kepada orang tua terutama pada ibu, akan membawa dampak positif.
"Sehabis sholat, sungkemlah pada ibu agar apa yang kalian inginkan dan rindukan tercapai," kata beliau.
Nah, kata-kata rindu ini konteksnya pada jodoh, maksudnya. Sepanjang pembicaraan, kami sepakat bahwa kata yang paling sering beliau ucapkan adalah pasangan, santri, dan 'yang dirindukan'. Eitss..santri? Iya, itu dia kita bingung. Aku dan Tiwi sudah 20 tahun jadi kakak-adik, dan pikiran kita klop kalau ada maksud tertentu di balik mentoring dadakan dari si ibu tersebut. Mungkinkah ada santri masjid tersebut yang sedang mencari jodoh? Ahahaha..yang jelas, begitulah yang kita tangkap.
Akhirnya, jam 9 malam lebih, si ibu menyudahi pembicaraannya. Beliau beberapa kali mengatakan, " Ibu nggak bermaksud menggurui, lo..Cuma memberi tahu saja..Alhamdulillah malam ini kita dipertemukan di sini atas kuasa Allah." Kami pun pamit pada ibu itu, juga beberapa bapak yang ada di situ. Setelah keluar dari masjid, Tiwi baru bilang padaku, "Tau gak lo, tadi pas kita ngobrol-ngobrol sama ibu itu, bapak-bapak dan cowok-cowok yang di depan sempat senyum-senyum ngeliatin kita loh.." Naah..
Yang aku ga habis pikir, bisa ya, ada orang baru kenal langsung ngomongin yang begituan. meskipun tujuannya tausyiah, tapi mengapa harus tentang hal yang satu itu? Wallahu alam bisshawab.
Tentang hal yang satu itu: pernikahan, kiranya masih belum ingin buru-buru dibahas. "Siapa kamu?", "Bisa apa kamu?", adalah pertanyaan-pertanyaan yang pantas ditanyakan pada diri sendiri bila ada orang yang menanyakan tentang hal itu. Yang mungkin bikin bimbang adalah, hehehe..yang ngerti aku pasti tau ya, aku tuh kayak apa...Hmm..Hanya dengan mengingat Allah-lah, hati menjadi tenang..
Setelah selesai, kami berdua hendak pulang. Adikku sempat memburu-buruku karena aku melipat mukenanya lama banget.
"Cepetan, tinggal kita berdua doang nih," begitu katanya.
" Waa..sori-sori, bentar napa? Buru-buru amat, " balasku.
Tak sadar, ada seorang ibu yang sepertinya lebih tua dari ibu kami, mendekat dan menyapa. Beliau menanyakan, apakah ada iktikaf malam ini.
"Nggak tau ya, Bu. Sepertinya ga ada jamaah wanita yang iktikaf, "kata kami seraya mengerling ke arah beberapa bapak yang ngobrol di shaf depan.
" Biasanya kalau iktikaf yang rame mungkin di Salman ya, Bu. Jamaah wanitanya banyak, dan programnya jelas," tambahku.
Sepertinya ibu itu menanyakan kemungkinan iktikaf di masjid tersebut, dan ingin tahu, apakah kita berdua akan iktikaf di situ juga. Dikira cuma bertanya sebatas itu, ternyata..ibu itu mengajak ngobrol (atau tepatnya memaksa kami diam sejenak di masjid itu :-P). Diawali dengan menanyakan kami kuliah di mana. Kukira ibu itu sudah tau dengan melirik pada tas mukena yang kubawa. Tas itu adalah tas yang dulunya berisi paket toga+undangan Wisuda ITB 2006. Sejak awal, aku dan Tiwi sudah agak segan, tapi berhubung yang bersangkutan adalah orang tua dan sepertinya niatnya baik, kami sulit menolak.
Di sela obrolannya yang antara lain menceritakan anak-anaknya yang sudah sukses, dua di antaranya lulusan ITB, ibu itu juga menanyakan sedikit tentang tempat tinggal, keluarga, sampai status kami. Ehm..ehm..
"Sudah berkeluarga-kah?" tanya beliau, dibalas oleh gelengan kepala kami berdua sambil tersenyum-senyum.
"Atau sudah punya pasangan tapi belum berkeluarga?" Huk..itu apalagi..maksudnya??
Intinya, beliau mengajak ngobrol tentang keluarga, pernikahan, jodoh..ya semacam itu-lah. Di antaranya, beliau menyarankan agar kami membaca ayaut-ayat Al Quran yang berhubungan dengan hal itu:
Q.S. Al Furqon (surah ke-25) ayat 74:
Dan orang-orang berkata, " Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa."
Selain itu, berdasarkan pengalaman beliau, menghormati dan berbakti kepada orang tua terutama pada ibu, akan membawa dampak positif.
"Sehabis sholat, sungkemlah pada ibu agar apa yang kalian inginkan dan rindukan tercapai," kata beliau.
Nah, kata-kata rindu ini konteksnya pada jodoh, maksudnya. Sepanjang pembicaraan, kami sepakat bahwa kata yang paling sering beliau ucapkan adalah pasangan, santri, dan 'yang dirindukan'. Eitss..santri? Iya, itu dia kita bingung. Aku dan Tiwi sudah 20 tahun jadi kakak-adik, dan pikiran kita klop kalau ada maksud tertentu di balik mentoring dadakan dari si ibu tersebut. Mungkinkah ada santri masjid tersebut yang sedang mencari jodoh? Ahahaha..yang jelas, begitulah yang kita tangkap.
Akhirnya, jam 9 malam lebih, si ibu menyudahi pembicaraannya. Beliau beberapa kali mengatakan, " Ibu nggak bermaksud menggurui, lo..Cuma memberi tahu saja..Alhamdulillah malam ini kita dipertemukan di sini atas kuasa Allah." Kami pun pamit pada ibu itu, juga beberapa bapak yang ada di situ. Setelah keluar dari masjid, Tiwi baru bilang padaku, "Tau gak lo, tadi pas kita ngobrol-ngobrol sama ibu itu, bapak-bapak dan cowok-cowok yang di depan sempat senyum-senyum ngeliatin kita loh.." Naah..
Yang aku ga habis pikir, bisa ya, ada orang baru kenal langsung ngomongin yang begituan. meskipun tujuannya tausyiah, tapi mengapa harus tentang hal yang satu itu? Wallahu alam bisshawab.
Tentang hal yang satu itu: pernikahan, kiranya masih belum ingin buru-buru dibahas. "Siapa kamu?", "Bisa apa kamu?", adalah pertanyaan-pertanyaan yang pantas ditanyakan pada diri sendiri bila ada orang yang menanyakan tentang hal itu. Yang mungkin bikin bimbang adalah, hehehe..yang ngerti aku pasti tau ya, aku tuh kayak apa...Hmm..Hanya dengan mengingat Allah-lah, hati menjadi tenang..
No comments:
Post a Comment